27.06.2008
Perkembangan bisnis dan tuntutan regulasi membuat perusahaan harus menyimpan dan mengelola berbagai jenis data. Kini sistem penyimpanan harus bisa mengelola data terstruktur tradisional seperti yang biasa ditemui dalam aplikasi database, sekaligus juga data tak terstruktur. E-mail, dokumen, gambar dan video adalah contoh data tak terstruktur yang dihasilkan aplikasi perkantoran, VoIP, situs Web, dan sistem pemetaan.
Mengelola data tak terstruktur relatif lebih sulit dibandingkan data terstruktur. Namun perusahaan tak bisa menghindari karena pertumbuhan data tak terstruktur lebih cepat dibandingkan data terstruktur.
Lembaga riset IDC memproyeksikan pertumbuhan rata-rata tahunan data tak terstruktur dunia selama 2005-2011 mencapai 63,7%. Bandingkan dengan data terstruktur yang hanya 32,2%. Selain itu, tantangan dalam mengelola data juga semakin besar ketika infrastruktur storage tersebar seperti pulau-pulau storage. Di saat yang sama, utilisasi storage masih rendah dengan banyak data duplikat yang tidak perlu.
Menurut Strategic Research Corporation dan SNIA (Storage Networking Industry Association), utilisasi sistem storage umumnya berkisar antara 20% sampai 30%. Sementara itu, sebanyak 22% data adalah data duplikat bahkan 68% data tak pernah diakses selama 90 hari atau lebih. Dari sudut finansial, 47% dari biaya pengelolaan storage dihabiskan untuk mengelola
file, 12% untuk
backup dan
restore serta sisanya untuk pemeliharaan peranti keras.
Dampak bagi Bisnis Teknologi informasi, termasuk storage diharapkan selaras dengan tujuan bisnis. Tantangan pengelolaan storage bukan hanya masalah teknologi informasi, tetapi juga membawa dampak bagi bisnis, seperti:
1.
Sulit melakukan pencarian data • Menurut IDC, diperlukan waktu rata-rata sekitar 9 – 10 jam dalam sepekan untuk mencari informasi. Pencarian ini membutuhkan biaya dan memakan waktu sehingga memperpanjang time-to-market dan pengambilan keputusan.
• Berdasarkan laporan IDC pada April 2006, biaya pencarian yang tidak efektif diperkirakan mencapai USD5.251 per pekerja per tahun. Untuk 1.000 pekerja, biayanya diperkirakan mencapai USD5,25 juta.
• Help Desk –unit kerja yang bertugas membantu pengguna- dibanjiri permintaan untuk mencari dan menemukan data atau file di seluruh lingkungan storage.
• Selain itu, keberadaan data-data liar (rogue data) dalam jumlah yang sedikit sekalipun bisa meningkatan risiko data tidak ditemukan pada saat dibutuhkan.
• Perusahaan cenderung membangun storage tersendiri untuk setiap sistem yang menciptakan lumbung-lumbung data terpisah. Hal ini menyulitkan pencarian informasi dan meningkatkan risiko pada saat pencarian data.
2. Infrastruktur yang tambun
• Umumnya perusahaan menerapkan pendekatan kapasitas pada sistem storage dengan terus menambah daya tampung. Akhirnya, sistem storage yang terdiri dari aneka ragam jenis dan platform pun sulit dikelola.
• Sistem storage yang kompleks berujung pada peningkatan biaya operasional. Pendekatan kapasitas tetap membuat utilisasi storage rendah walaupun perusahaan sudah banyak melakukan investasi.
• Kompleksitas mengakibatkan
bottleneck dalam kinerja dan skalabilitas sedangkan akses pada
file membutuhkan waktu lebih lama.
• Dalam kondisi ini, infrastruktur storage menjadi "tambun" dan sulit mengikuti pergerakan bisnis yang semakin dinamis. Alih-alih menjadi pendukung, storage malah menghambat bisnis.
Menurut Edwin Lim, Country Manager Hitachi Data Systems Indonesia, Hitachi mencoba mengurangi risiko munculnya data liar, sekaligus menyempurnakan efisiensi operasional. Solusi Hitachi Data Discovery Suite, Hitachi High-performance NAS Platform 3000 Series, dan Content Archive Platform 2.4 membantu memenuhi janji membantu perusahaan di Asia Pasifik untuk mengurangi biaya TI dan kompleksitas, mengelola risiko, dan meningkatkan efisiensi operasional sekaligus memberikan nilai lebih melalui
platform solusi
service oriented storage terintegrasi.
Redaksi SDA Asia Magazine