Perencanaan Biaya Migrasi Linux

Wednesday, 25 June 2008 15:28
Perencanaan biaya migrasi dari Windows ke Linux perlu dilakukan secara matang, agar tidak menyisakan hidden cost di masa mendatang. Di dunia komputer, satu sistem operasi dapat diibaratkan sebagai dunia tersendiri. Ketika kita menggunakan sistem operasi Windows, maka kita bekerja di dunia Windows. Ketika kita menggunakan Linux, maka kita juga akan bekerja di dunia Linux. Berpindah dari satu sistem operasi ke sistem operasi lain pada dasarnya adalah hal yang tidak sederhana, terutama kalau kita terlalu menggantungkan diri pada sistem operasi tertentu.

Ketika kita ingin pindah dari satu sistem operasi ke sistem operasi lain, baik dengan alasan apapun, persiapan yang matang adalah salah satu kunci sukses migrasi. Persiapan bisa meliputi aspek teknis ataupun non teknis. Aspek teknis diantaranya mencakup analisa kompatibilitas hardware, migrasi data dan lain sebagainya. Persiapan non teknis diantaranya adalah budgeting.

Di tulisan ini, kita akan memfokuskan pada budgeting migrasi dari dunia proprietary ke dunia free/open source software dan isu terkait. Seperti kita ketahui bersama, di dunia proprietary, kita perlu membeli lisensi penggunaan software-software yang kita butuhkan. Umumnya, biaya yang dikeluarkan juga sudah mencakup dukungan sampai level tertentu. Dengan demikian, lebih kurang komponen terbesar dari biaya kepemilikan teknologi adalah pada biaya lisensi.

Sementara, di dunia free/open source, kita memiliki akses ke source code software yang ingin kita gunakan. Kita bebas mempelajari, memodifikasi dan menyebarluaskan source code dan software tersebut, sesuai lisensi yang digunakan. Jadi, kontras dibandingkan dengan dunia proprietary. Kalau kita ingin mengunakan software paket office misalnya, kita tinggal mendownload dan kalau perlu, kita bahkan bisa memodifikasi. Tidak ada biaya lisensi yang harus dibayarkan. Di sini, kita bisa melihat bahwa kita memiliki kebebasan, seperti arti free pada kata free software.

Sayangnya, biaya yang nyaris gratis – Anda mungkin harus mengeluarkan uang untuk membeli media distribusi, atau untuk mendownload – tidak menjadikan proses migrasi ke dunia free/open source software sepenuhnya gratis pula. Dalam biaya akuisisi suatu teknologi, kita perlu memahami bahwa biaya lisensi adalah satu komponen dari sekian banyak komponen.

Anda mungkin harus memperhatikan biaya SDM dan biaya lain (akan dibahas kemudian) yang bisa menjadi besar dalam proses migrasi ke free/open source. Ingatlah bahwa salah merencanakan bisa berarti biaya besar, namun dengan produktifitas yang rendah. Ini tentu tidak diinginkan oleh kita semua.

Agar proses migrasi bisa dilakukan dengan sukses dan seefisien mungkin, kita harus menerapkan strategi yang tepat. Dengan demikian, kita bisa 'hemat' menggunakan Linux. Ini penting karena, cukup banyak proses migrasi ke Linux yang malah gagal setelah menghabiskan cukup banyak uang, serta berujung pada antipati terhadap Linux dan free/open source software itu sendiri.

Apa yang ingin penulis coba usulkan di dalam kesempatan ini adalah proses migrasi yang dilakukan setahap demi setahap sebaik mungkin. Untuk memperjelas, kita akan menggunakan beberapa asumsi berikut:

  • Kita memiliki 100 komputer, semuanya terletak pada lokasi yang sama. Terhubung satu sama lain pada jaringan lokal. Sebagian besar terinstall Windows XP dan selebihnya Windows 98. Semua menjalankan paket office Microsoft Office.

  • Pengguna juga bekerja dengan internet, terutama untuk berselancar di web dan berkomunikasi via email.

  • Budgeting dilakukan dalam basis per tahun anggaran.

  • Perencanaan biaya juga mencakup SDM (catatan: biaya SDM bisa sangat bervariasi)

Dengan ilustrasi tersebut, kita bisa menyusun perencanaan biaya seperti contoh pada tabel berikut:

No

Komponen Biaya

Biaya yang dianggarkan (Rp)

1

Sistem operasi Linux

Media distribusi adalah CD/DVD

Per komputer adalah 50.000

5.000.000

2

Paket Office

(sudah terdapat dalam media sistem operasi)

0

3

Internet

(sudah terdapat dalam media sistem operasi)

0

4

Backup data, instalasi dan konfigurasi Linux, restore data

5 hari kerja dengan 4 SDM (1 man/day 500.000)

10.000.000

5

Pelatihan dasar pengguna

100 peserta (200.000 per peserta)

20.000.000

6

Dukungan selama 1 tahun

12 bulan dengan 2 SDM (1 man/month 1.500.000)

36.000.000

7

Konsultan sistem

12 bulan dengan 1 SDM (1 man/month 3.000.000)

36.000.000

Total

107.000.000

Bisa kita lihat, bahwa biaya migrasi 100 komputer ke free/open source software jauh lebih murah apabila kita menggunakan sistem proprietary, dimana untuk sistem operasi (per lisensi kita asumsikan Rp 1.000.000,-) dan paket office (per lisensi kita asumsikan Rp 3.000.000,-) saja, tidak memperhitungkan SDM, biaya yang harus dikeluarkan sudah mencapai Rp 400.000.000,-

Namun, ada beberapa hal yang sangat perlu diperhatikan di sini. Yang pertama, migrasi umumnya dilakukan secara bertahap. Migrasi 100 komputer sekaligus sangatlah beresiko kalau tingkat ketergantungan dengan sistem sebelumnya sangat tinggi. Umumnya, migrasi dilakukan terlebih dahulu pada beberapa komputer (misal: 5 sampai 10 persen) yang cukup representatif. Ini tentunya, sudah melibatkan analisa sistem yang dilakukan oleh konsultan.

Yang kedua adalah kualitas SDM. Semakin matang dan berpengalaman SDM yang melakukan migrasi, maka diharapkan migrasi dapat dilakukan lebih baik. Sebagai contoh, konsultan harus mampu memutuskan distribusi Linux apa yang akan digunakan. Implementator harus bisa menggunakan metode instalasi yang paling efisien (menggunakan media CD/DVD, kloning harddisk, network install dan sebagainya). Bagian support harus mampu mendampingi user dengan baik. Alokasi biaya untuk SDM bisa semakin kecil apabila SDM bisa meningkatkan kemampuannya (sehingga migrasi bisa lebih cepat dan mulus). Selain itu, dengan Linux yang semakin mudah dan umum, diharapkan tidak membutuhkan SDM yang sangat khusus, terutama dalam implementasi.

Yang ketiga, perlu kita perhatikan bahwa sistem operasi adalah komponen yang sangat penting. Apabila memang tidak bisa memigrasikan sistem operasi (misal dari Windows ke Linux karena ada program penting yang hanya berjalan di Windows), maka lakukanlah terlebih dahulu pada program-program yang paling sering digunakan. Sebagai contoh, mengganti microsoft office dengan paket OpenOffice.org. Atau, mengganti Internet Explorer dan Outlook dengan Mozilla Firefox dan Mozilla Thunderbird. Setelah halangan semakin kecil (misal beberapa tahun ke depan, aplikasi yang dibutuhkan sudah berjalan di Linux juga dan user sudah terbiasa dengan paket Office baru), barulah kita migrasikan sistem operasinya.

Yang keempat, asumsi biaya tersebut belum melibatkan porting aplikasi (yang selama ini berjalan di Windows saja menjadi dapat berjalan di beberapa sistem operasi sekaligus atau berbasis web), yang umumnya membutuhkan biaya cukup besar.

Yang terakhir adalah, kita perlu melihat biaya secara jangka panjang. Selain itu, dengan migrasi ke dunia free/open source, kita bekerja dengan proyek yang padat karya. Dan, jangan lupa, semua uang yang kita keluarkan akan berputar di dalam negeri kita sendiri.

Migrasi adalah proses yang tidak sederhana. Mulai sekarang, janganlah terlalu bergantung pada satu sistem tertentu. Ketika membangun program, pastikan berjalan pada berbagai platform. Ketika menggunakan format dokumen, gunakan format standar. Ketika bekerja pada jaringan, gunakan protokol standar.

Selamat merencanakan migrasi Anda.

Oleh : Noprianto, Praktisi Linux dan Kontributor Majalah InfoLinux ( nop@sent.comThis e-mail address is being protected from spambots, you need JavaScript enabled to view it )